Panglima Kumbang dianggap sebagai perintis untuk bantuan awal dalam sebuah konflik. Jika kehadiran Panglima Kumbang belum menyelesaikan konflik, apakah itu untuk sebuah kemenangan / untuk kesepakatan damai, maka barulah Panglima Burung didatangkan.
Seperti Panglima Kumbang, Panglima Burung dan juga berasal dari suku Dayak, Kalimantan Tengah. Panglima Burung bakal datang setelah melakukan semedi di tempat tertentu. Kesaktiannya, mampu memasukkan roh pada semuanya anggota pasukan di lapangan sehingga mereka mengamuk dalam kondisi di bawah alam sadar.
Di luar kesadaran itu, pedang-pedang di tangan menebas leher orang-orang yg telah ditentukan melalui ritual Panglima Burung. Ada yg bahkan mengatakan bahwa pedang itu melayang sendiri mencari lawan-lawan yg telah ditentukan sebelumnya.
Antara percaya & tidak, kesaktian Panglima Burung inilah yg ditakuti para warga. Jangan-janganlah itu tidak sekadar mitos. Jangan-janganlah itu bakal terjadi di Tarakan. Jangan-janganlah pula bakal meluas ke wilayah lainnya, seperti Samarinda & Nunukan. Soalnya, kedua daerah ini segera menghelat pemilukada yg tentu saja rawan konflik.
Panglima Perang Suku Dayak Panglima Burung Dan Panglima Kumbang
Panglima Burung
Selain lumayan banyaknya versi cerita, di penjuru Kalimantan dan juga ada lumayan banyak orang yg mengaku sebagai Panglima Burung, entah di Tarakan, Sampit, maupun Pontianak. Namun setiap pengakuan itu hanya diyakini dengan tiga cara yg berbeda; ada yg percaya, ada yg tak percaya, & ada yg ragu-ragu. Belum ada bukti otentik yg memastikan salah satunya ialah benar-benar Panglima Burung yg sejati.
Banyak sekali isu & cerita yg beredar, namun ada satu versi yg menurut aku amat pas menggambarkan apa & siapa itu Penglima Burung. Ia ialah sosok yg menggambarkan orang Dayak secara umum. Panglima Burung ialah perlambang orang Dayak. Baik itu sifatnya, tindak-tanduknya, & segala sesuatu mengenai dirinya.
Lalu gimanakah seorang Panglima Burung itu, gimana ia bisa melambangkan orang Dayak? Selain sakti & kebal, Panglima Burung dan juga ialah sosok yg kalem, tenang, penyabar, & tak suka membuat keonaran. Ini sesuai dengan tipikal orang Dayak yg dan juga ramah & penyabar, bahkan kadang pemalu. Cukup susah untuk membujuk orang Dayak pedalaman agar mau difoto, kadang harus menyuguhkan imbalan berupa rokok kretek.
Dan kenyataan di lapangan membuyarkan semuanya stereotipe terhadap orang Dayak sebagai orang yg kejam, ganas, & beringas. Dalam kehidupan bermasyarakat, orang Dayak bisa dibilang lumayan pemalu, tetap menerima para pendatang dengan baik-baik, & senantiasa menjaga keutuhan warisan nenek moyang baik religi maupun ritual. Seperti Penglima Burung yg bersabar & tetap tenang mendiami pedalaman, masyarakat Dayak pun lumayan banyak yg mengalah ketika penebang kayu & penambang emas memasuki daerah mereka. Meskipun tetap kukuh memegang ajaran leluhur, tak pernah ada konflik ketika ada anggota masyarakatnya yg beralih ke agama-agama yg dibawa oleh para pendatang.
Kesederhanaan pun identik dengan sosok Panglima Burung. Walaupun sosok yg diagungkan, ia tak bertempat tinggal di istana / bangunan yg mewah. Ia bersembunyi & bertapa di gunung & menyatu dengan alam. Masyarakat Dayak pedalaman pun tak pernah peduli dengan nilai nominal uang. Para pendatang bisa dengan mudah berbarter barang seperti kopi, garam, / rokok dengan mereka.
Panglima Burung diceritakan jarang menampakkan dirinya, lantaran sifatnya yg tak suka pamer kekuatan. Begitupun orang Dayak, yg tak sembarangan masuk ke kota sambil membawa mandau, sumpit, / panah. Senjata-senjata itu pada umumnya dipakai/digunakan untuk berburu di hutan, & mandau tak dilepaskan dari kumpang (sarung) apabila tak ada perihal yg penting / mendesak.
Lantas di manakah budaya kekerasan & keberingasan orang Dayak yg santer dibicarakan & ditakuti itu? Ada satu perkara Panglima Burung turun gunung, yaitu ketika setelah terus-menerus bersabar & kesabarannya itu habis. Panglima burung memang sosok yg amat penyabar, namun apabila batas kesabaran sudah melewati batas, perkara bakal jadi lain. Ia bakal berubah jadi seorang pemurka. Ini benar-benar jadi penggambaran sempurna mengenai orang Dayak yg ramah, pemalu, & penyabar, namun bakal berubah jadi amat ganas & kejam apabila sudah kesabarannya sudah habis.
Panglima Burung yg murka bakal segera turun gunung & mengumpulkan pasukannya. Ritual–yang di Kalimankan Barat dinamemakan Mangkuk Merah–dilakukan untuk mengumpulkan prajurit Dayak dari saentero Kalimantan. Tarian-tarian perang bersahut-sahutan, mandau melekat erat di pinggang. Sahabat anehdidunia.blogspot.com mereka yg tadinya orang-orang yg amat baik bakal terlihat menyeramkan. Senyum di wajahnya menghilang, digantikan tatapan mata ganas yg seperti terhipnotis. Mereka siap berperang, mengayau–memenggal & membawa kepala musuh. Inilah yg terjadi di kota Sampit beberapa banyak tahun silam, ketika pemenggalan kepala terjadi di mana-mana hampir di tiap sudut kota.
Meskipun kejam & beringas dalam keadaan marah, Penglima Burung segimana halnya orang Dayak tetap berpegang teguh pada norma & aturan yg mereka yakini. Antara lain tak mengotori kesucian tempat ibadah–agama manapun–dengan merusaknya / membunuh di dalamnya. Karena kekerasan dalam masyarakat Dayak ditempatkan sebagai opsi terakhir, saat kesabaran sudah habis & jalan damai tak bisa lagi ditempuh, itu dalam sudut pandang mereka. Pembunuhan, & kegiatan mengayau, dalam hati kecil mereka itu tak boleh dilakukan, tetapi lantaran didesak ke pilihan terakhir & untuk mengubah apa yg menurut mereka salah, itu memang harus dilakukan. Inilah budaya kekerasan yg sebenarnya patut ditakuti itu.
Kemisteriusan memang amat identik dengan orang Dayak. Stereotipe ganas & kejam pun masih melekat. Memang tak semuanya baik, lantaran ada lumayan banyak dan juga kekurangannya & kesalahannya. Terlebih lagi kekerasan, yg apapun bentuk & alasannya, tetap saja tak dapat dibenarkan. Terlepas dari segala macam legenda & mitos, / nyata tidaknya tokoh tersebut, Panglima Burung bagi aku adalah sosok perlambang sejati orang Dayak.
Amun ikam kada maulah sual awan ulun, ulun gen kada handak jua bahual lawan pian malah ulun maangkat dingsanak awan pian, begitu yg diucapkan orang Kalimantan khususnya orang Banjar untuk menggambarkan sikap dari orang-orang Dayak.
Panglima Kumbang
Panglima Perang Suku Dayak - NAMA Udin Balok alias Pangkalima Kumbang kembali jadi pembicaraan. Kerusuhan etnis di Tarakan, Kalimantan Timur, tahun 2010 lalu, peran Udin Balok begitu terlihat. Udin Balok dengan sebutan Pangkalima (baca :panglima) Kumbang dan juga dikait-kaitkan saat kerusuhan etnis Sampit. Kini, lelaki dengan wajah penuh tato itu telah jadi selebritas. Ia terlibat peran dalam syuting film Perawan Dayak. Siapa sebenarnya Udin Balok? Benarkah ia Pangkalima Kumbang? Gelar / sekadar julukan?
Ada yg menyebut Udin Balok berasal dari Kabupaten Katingan, Kalteng & belakangan lumayan banyak berkiprah di Kalimantan Timur. Ada pula yg menyebut lelaki bernama asli Stefanus itu berasal dari Samarinda, Kaltim.
Bagi masyarakat Dayak gelar Pangkalima bukanlah sembarang gelar. Seseorang yg menyandang gelar Pangkalima ialah sosok yg dianggap terpandang di masyarakat lantaran mempunyai kelebihan & selalu jadi pelindung masyarakat Dayak.
Seorang Pangkalima dan juga jarang mau menampakan diri di masyarakat sebagai seorang Pangkalima melainkan sebagai rakyat biasanya. Tidak heran apabila ada beberapa banyak Pangkalima yg masih misterius keberadaannya. Sosok Pangkalima selalu digambarkan sebagai seorang yg sederhana & bersahabat dengan semuanya orang.
Catatan Bonny Bulang pada blog pribadinya benua.dayak.blogspot.com, sosok Udin Balok sudah tak asing bagi dirinya. Ia bersama Udin Balok pernah melakukan aksi damai di Bundaran HI Jakarta pada 8 Januari 2011 saat mengecam pernyataan Profesor Thamrin Amal Tamagola yg melecehkan masyarakat Dayak. Udin Balok hadir di sana & mengaku Pangkalima Kumbang.
“Saya ingat betul waktu itu ketika ada yangg bertanya bapak siapa? Udin menjawab kalau orang-orang memanggil dirinya Pangkalima Kumbang” ujar Bonny Bulang.
Menurut Bonny, dari penjelasan Thoeseng, Pengurus MADN Bidang Kebudayaan & Pariwisata, bahwa nama Pangkalima Kumbang yg disandang Udin Balok hanya julukan kepadanya.
“Pangkalima Kumbang itu sesungguhnya hanya julukan pada dirinya lantaran ia sering berpergian ke sana-sini seperti Kumbang. Lama-kelamaan orang disekitarnya memanggil ia dengan sebutan Pangkalima Kumbang.
Jadi panggilan Pangkalima Kumbang pada Udin Balok tidak adalah gelar Pangkalima Dayak seperti berita di masyarakat selama ini,” Tegas Thoeseng.
Seperti film mitologi, kerusuhan di Tarakan maupun di Sampit menyisakan kisah-kisah menarik di kalangan masyarakat. Di balik trauma yg masih menghantui sebagian warga, terdapat kisah-kisah berbau mitos. Tentu saja kisah-kisah bernuansa mitos itu ialah kehadiran dua panglima perang bergelar Panglima Kumbang & Panglima Burung.
Keduanya berasal dari Suku Dayak, Kalimantan Tengah. Namun, kesaktiannya berbeda. Panglima Kumbang bisa membuat kebal secara massal melalui proses ritual tertentu. Adapun kesaktian Panglima Burung mampu memasukkan roh pada semuanya anggota pasukan di lapangan sehingga mereka mengamuk hingga tak sadarkan diri menghabisi lawan-lawannya.
Selain itu, Panglima Burung dapat menggerakkan pedang hingga melayang di udara. Pedang-pedang itu bergerak sendiri mencincang leher lawan yg telah ditentukan asalnya. Menurut cerita warga, kesaktian Panglima Burung inilah yg bekerja pada kerusuhan di Sampit beberapa banyak tahun lalu.
Bagi warga Tidung, Tarakan, Panglima Kumbang ialah sosok "pahlawan" di komunitasnya. Dia tidak preman di mata mereka. Yang jelas, ia salah seorang "tokoh" yg dirasa penting untuk dihadirkan demi mengamankan kesepakatan damai di Tarakan. Setidaknya, ia telah mendapat perhatian dari jajaran pengamanan & pihak-pihak lainnya. Sang Panglima telah "mendapatkan ruang" di hadapan Kapolri pada saat kunjungan damai tersebut.
Azis, warga Nunukan menerangkan bahwa Panglima Kumbang bisa jadi sebuah terapi untuk suatu perdamaian. Sebaliknya bakal jadi sugesti bagi kelompok tertentu untuk lebih energik dalam sebuah konflik. "Tapi maaf, aku sama sekali tak menyebut sosok itu sebagai preman," kata lelaki berdarah Tidung & Bugis ini. Sebagian warga Tarakan mengatakan bahwa panglima Kumbang ini pula yg hadir di tengah-tengah kerusuhan Sampit beberapa banyak tahun lalu.
Antara percaya & tidak, kesaktian Panglima Burung inilah yg ditakuti para warga. Jangan-janganlah itu tidak sekadar mitos. Boleh jadi itu hanya mitos. Namun, di sisi lain, disebutkan dan juga bahwa Panglima Burung sebetulnya amat bijak. Dia orang baik. Ia dituakan. Kalau masih ada jalan damai, Panglima Burung memilih yg terbaik untuk kebaikan semua.
“Dia itu simbol dari orang-orang sabar & sederhana. Kalau sudah menyangkut harga diri & penghinaan & tak ada jalan lain, barulah turun. Makanya, Panglima Burung tak sembarang turun. Ia amat selektif," kata Jaya, 78, tetua adat Tidung yg kesehariannya mencari rumput laut.
Lantas gimana menangkal kesaktian Panglima Burung? Seorang tetua adat asal Sulsel di Nunukan mengisahkan dengan bahasa konon. Katanya, kesaktian Panglima Kumbang & Panglima Burung terjadi pada ratusan tahun silam. Yang ada sekarang tinggal generasinya.
Beberapa banyak warga di Nunukan mengaku sering mendengar bahwa kesaktian Panglima Burung pernah mendapat tantangan dari orang Bugis yg datang dari Kajang. Kisah ini lagi-lagi bernuansa mitos. Betapa tidak, ketika Panglima Burung mendemonstrasikan kesaktiannya, datang pula orang sakti dari Bugis Kajang.
Bugis Kajang menebar beras ke bumi. Hanya dengan mengayunkan telunjuknya dengan gerakan melingkar, ribuan biji beras itu pun bergerak sendiri hingga bersatu dalam sebuah onggokan.
Panglima Burung yg menyaksikan adegan itu, awalnya biasa-biasa saja. Namun, ketika dijelaskan, bahwa ini hanya contoh gimana orang Bugis Kajang mampu mengumpulkan lawan-lawannya yg tersebar di medan konflik seperti dengan mudahnya mengumpulkan biji-biji beras itu. Setelah lawan-lawannya terkumpul, barulah dengan mudah diperdayai. Mereka tak bisa melawan.
"Namun demikian, orang Bugis tak bakal memperdayai orang-orang yg sudah tak berdaya lagi," kata Ketua Perguruan Seni Bela Diri Tapak Suci Putra Muhammadiyah, Pimda 212 Kabupaten Nunukan, Andi Kaharuddin Andi Tokkong.
Segimana diberitakan, kontroversi terkait kabar yg beredar soal pemberian gelar Adat Dayak pada artis seksi Julia Perez alias Jupe, masih terus berlanjut. Apalagi, lumayan banyak kalangan dari tokoh-tokoh adat yg melakukan protes keras terhadap sebutan Nyai Intan Garinda itu.
Rupanya, menurut Pangkalima Kumbang alias Udin Balok "tokoh Dayak asal Katingan yg belakangan lumayan banyak berkiprah di Kaltim-- pemberian sebutan yg diberikan oleh tokoh & masyarakat Tumbang Manggu Kabupaten Katingan itu bukanlah gelar, tapi hanya sebatas sebutan saja.
"Jupe itu khan orang jauh. Sebutan itu tidak gelar yg pemberiannya harus melewati beberapa banyak proses. Ini bisa dikatakan hanya panggilan saja. Misalnya kita dekat dengan seseorang, sehingga kita memberinya sebutan, sehingga tak perlu pengesahan," ujar Udin Balok dalam jumpa pers di kediaman Ketua Presidium LMDD-KT, KMA Usop.
Berikut ini adalah video saat kerusuhan di tarakan dan terdapat panglima kumbang saat itu :
Sunday, March 20, 2016
Pengetahuan
Tanah Airku
Video
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete